Cinta Ibnu Taimiyah, Husein bin Ali as atau Yazid bin Muawiyah?

Cinta Ibnu Taimiyah, Husein bin Ali as atau Yazid bin Muawiyah?

Sumber: Islam Alternatif

Oleh: Muchtar Luthfi

Sungguh celaka yang mengadakan pesta itu dengan dasar pengetahuan akan peristiwa Karbala, karena mereka bergembira di atas derita Rasul. Bisa dipastikan hati Rasul akan sakit dan tersiksa dengan situasi semacam ini. Jika hal itu terjadi, maka mereka tergolong dalam ayat “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akherat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan”.

“Husein dari-ku dan aku dari Husein, sungguh telah mencintai Allah orang yang telah mencintai Husein. Husein adalah salah seorang cucu (mulia)”

Mayoritas mutlak kaum muslimin baik Sunnah maupun Syiah sepakat akan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa Bani Umayyah. Bani Umayyah berlaku zalim bukan hanya kepada para kaum muslimin biasa, namun mereka juga berlaku zalim kepada keluarga suci Rasulullah beserta para pengikut setianya. Oleh karenanya, Rasulullah saww jauh-jauh hari telah mengetahui -melalui wahyu Allah- akan hal tersebut, dan dalam banyak hadis disebutkan beliau sangat membenci Bani Umayyah sampai akhir hayatnya. Sebagai contoh, hadis yang diriwayatkan Imran bin Hashin “Rasulullah saww meninggal dalam keadaan membenci tiga kabilah; Bani Hanifah, Bani Makhzum dan Bani Umayyah”. Sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis lain yang juga memasukkan Bani Umayyah disana.

Semenjak didirikannya sistem pemerintahan zalim yang berpusat di Syam (Damaskus saat ini), sampai pada rezim Yazid Bin Muawiyah, adalah puncak kezaliman Bani Umayyah. Semua itu dicatat oleh para sejarawan, sebagai masa yang paling buruk dalam dunia Islam. Pembantaian Husain bin Ali bin Abi Thalib as adalah peristiwa yang paling menyakitkan dari sekian banyak peristiwa sedih yang bisa ditemui dalam lembaran-lembaran sejarah umat Islam. Terlalu banyak kita dapatkan pendapat para ulama Ahlusunnah yang dengan jelas mengecam pelaku pembantaian tersebut, terutama Yazid, otak tindakan pembantaian di Karbala itu.

Pendapat Para Ulama terhadap Kezaliman Yazid

Al-Alusi mengatakan:

“Barangsiapa yang beranggapan bahwa prilaku Yazid tidak masuk kategori maksiat, sehingga dilarang untuk melaknatnya, maka sungguh ia tergolong penolong Yazid”.

Taftazani berpendapat:

“Kegembiraan Yazid atas terbunuhnya Husain merupakan satu bentuk penghinaan atas Ahlul Bait (keluarga Nabi), dan hal itu merupakan sesuatu yang mutawatirat maknawi (yang diterima oleh mayoritas walau tidak transparan”

Jahidh mengungkapkan:

“Berbagai kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Yazid, seperti; membunuh Husein, menawan keluarga Husein, memukuli kepala dan gigi Husein dengan kayu, menimbulkan rasa ketakutan penghuni Madinah, merusak Ka’bah, semua itu, sebagai bukti bahwa Yazid memiliki jiwa keras kepala, angkara murka, kemunafikan dan telah keluar dari keimanan, maka ia masuk kategori fasik dan terlaknat. Barangsiapa yang menghindari dari pelaknatan seseorang yang layak untuk dilaknat, maka iapun termasuk orang yang terlaknat”.

Seorang penulis besar Mesir Thaha Husein mengatakan:

“Sebagian beranggapan, Yazid bersih dari keterlibatan pembunuhan atas Husein dengan cara yang sangat memprihatinkan, sementara kesalahan sepenuhnya ditujukan kepada Ubaidillah. Jika memang hal itu benar, kenapa (Yazid) tidak mencela Ubaidillah? Kenapa ia tidak menghukum Ubaidillah? Kenapa ia tidak mencabut kedudukan Ubaidillah?

Dari ungkapan ulama Ahlusunnah di atas, dengan jelas bahwa mereka sendiri meyakini akan kezaliman dan kelaliman Yazid anak Muawiyah. Dan mereka pun beranggapan bahwa pembela orang zalim berarti ia dihukumi sama dengan yang dibela.

Ibnu Taimiyah dan Pembantaian Imam Husein

Bagaimana pendapat Ibnu Taimiyah tentang pembunuhan al-Husein oleh Yazid? Ibnu Taimiyah bukan hanya tidak mau menyalahkan Yazid, bahkan ia telah menulis buku tentang keutamaan Yazid beserta ayahnya, Muawiyah. Buku itu ia beri judul “Fadho’il Muawiyah wa Yazid” (Keutamaan Muawiyah dan Yazid). Padahal, Dzahabi menukil pendapat Ahmad bin Hanbal yang mengatakan “Tiada satupun riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Muawiyah masuk kategori riwayat sahih”.

Suatu waktu, an-Nasa’i –penulis as-Sunan yang termasuk dari enam buku standar Ahlusunnah- datang ke kota Damaskus, ibu kota kerajaan Dinasti Umayyah. Ketika itu, penduduk Damaskus meminta darinya riwayat-riwayat tentang keutamaan Muawiyah. Mendengar permintaan tersebut an-Nasa’i mengatakan:

“Saya tidak mengetahui keutamaannya, kecuali ada satu riwayat dari Rasulullah saww tentang dia, beliau bersabda: “Semoga Allah tidak akan pernah mengenyangkan perutmu”.

Selain itu Hasan al-Basri pernah mengatakan:

“Ada beberapa hal yang terdapat pada diri Muawiyah, dimana setiap satu dari sekian hal tersebut menyebabkan ia disiksa; meng-ghoshob (merampas) kekhalifahan dengan kekerasan dan pedang, mengangkat anaknya (Yazid) sang pemabuk sebagai pengganti dirinya dalam menduduki kursi kekhilafahan, memakai baju sutera, menari, Ziyad dianggap sebagai anak, sedang Hijr bin ‘Adi dan pengikutnya dizalimi hingga mati”.

Adapun yang berkenaan dengan Yazid, Ibnu Taimiyah dalam beberapa tulisannya terus berusaha membelanya. Dalam tulisan Ibnu Taimiyah, upaya untuk mencari pembenaran atas prilaku Yazid pada peristiwa pembantaian di Karbala, ia mengatakan “Yazid tidak menginginkan pembunuhan Husein, ia bahkan menunjukkan ketidaksenangannya atas peritiwa tersebut”. Sebagaimana Ibnu Taimiyah juga mengingkari diaraknya kepala suci Husein bin Ali as oleh bala tentara Yazid. Padahal, banyak ulama ahli sejarah dari Ahlusunnah meyakini kejadian tersebut, seperti Ibnu ‘Asakir dalam Tarjamah al-Imam Husein atau Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat-nya. Ibnu Taimiyah pun dalam karyanya yang lain, mengingkari bahwa keluarga Husein bin Ali as ditawan oleh pasukan Yazid, padahal, banyak buku-buku sejarah Ahlusunnah sendiri menyebutkan hal tersebut, seperti Thabari dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Atsir dalam kitab al-Kamil fi at-Tarikh atau kitab al-Bidayah wa an-Nihayah. Sedang dalam kitabnya Su’al fi Yazid bin Muawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Yazid tidak pernah memerintahkan untuk membunuh Husein, kepala-kepala (peristiwa Karbala) tidak dihadirkan di hadapannya, ia tidak memukul gigi-gigi kepala Husein dengan kayu. Akan tetapi, Ubaidillah bin Ziyad-lah yang melakukan itu semua”.

Semua kejadian yang dinafikan oleh Ibnu Taimiyah di atas dengan jelas bisa ditemui dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Ibnu Atsir dalam kitabnya menukil ucapan Abdullah bin Abbas ra kepada Yazid, Ibnu Abbas berkata, “Engkaulah (Yazid) yang telah penyebab terbunuhnya Husein bin Ali”. Ibnu Atsir dalam kitab yang sama menulis, “Yazid memberi izin kepada masyarakat untuk menemuinya sedangkan kepala Husein bin Ali as ada di sisinya, sambil ia memukuli muka kepala tersebut sembari mengucapkan syair”. Sementara Taftazani, seorang pemuka Ahlusunnah mengatakan:

“Pada hakikatnya, kegembiraan Yazid atas terbunuhnya Husein dan penghinaannya atas Ahlul Bait (keluarga Rasul) merupakan suatu hal yang mutawatir (diterima oleh mayoritas), sedang kami tidak lagi meragukan atas kekafirannya (Yazid), semoga laknat Allah tertuju atasnya dan atas penolong dan pembelanya”.

Masih layakkah Yazid bin Muawiyah dibela, terkhusus dalam kejadian tragis di Karbala? Masihkah orang semacam Ibnu Taimiyah sudi membela manusia durjana seperti Yazid beserta antek-anteknya? Lantas bagaimana jika kita terapkan pendapat Taftazani tadi terhadap Ibnu Taimiyah, sang pembela Yazid? Sedang Mas’udi dalam kitab Muruj adz-Dzahab dengan jelas menuliskan “Suatu hari, setelah peristiwa terbunuhnya Husein, Yazid duduk di hidangan minuman khamr sedang di samping kanannya duduk Ibnu Ziyad”.

Ternyata, pembelaan Ibnu Taimiyah terhadap Yazid bukan hanya berkisar tentang kesalahan besar Yazid dalam peristiwa Karbala. Namun, dalam peristiwa-peristiwa lain pun ia bersikeras untuk mensucikan Yazid sesuci-sucinya. Kita akan nukil beberapa peristiwa besar yang diperbuat oleh Yazid yangmana Ibnu Taimiyah tetap membela mati-matian Yazid bin Muawiyah, padahal banyak ulama Ahlusunnah sendiri dengan jelas menukil kejadian-kejadian itu.

Selain membunuh keluarga suci Rasulullah, Yazid juga merupakan otak pembantaian di kota suci Madinah al-Munawwarah. Kota tempat disemayamkannya tubuh suci Rasulullah saww beserta banyak keluarga dan sahabatnya. Ibnu Atsir dalam kitabnya mengatakan:

“Setelah peristiwa Karbala, para penghuni Madinah menarik baiatnya dari Yazid. Setelah Yazid mendengar kejadian tersebut, ia lantas mengirim manusia haus darah bernama Muslim bin Uqbah untuk memerintahkan penduduk Madinah supaya memberikan kembali baiatnya kepada Yazid, dengan diberi jangka waktu selama tiga hari. Jika tidak, maka seluruh penduduk Madinah akan dibunuh. Sebagaimana ia juga memberi ijin untuk mengambil semua harta benda mereka, dan menghukuminya halal bagi semua bala tentaranya. Setelah tiga hari Muslim bin Uqbah memasuki kota Madinah, terjadilah pembantaian besar-besaran dan prilaku durjana yang maha dahsyat selama sejarah umat manusia”

Adapun dalam kasus yang sama, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan “Pasukan Yazid berbuat semena-mena terhadap para wanita Madinah, sehingga selepas peristiwa tersebut, setiap wanita melahirkan anak tanpa suami”. hal sadis ini juga dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah. Lebih lanjut ia menjelaskan:

“Pada kejadian itu, banyak sahabat Rasulullah terbunuh. Delapan puluh sahabat mantan anggota perang Badar, sedang dari Quraisy dan Anshar yang berjumlah tujuh ratus orang, semuanya mati. Sementara yang terbunuh dari masyarakat umum berjumlah sepuluh ribu orang”.

Bagaimana mungkin perbuatan Yazid tersebut dapat ditolelir oleh syariat Muhammad saww? Lalu, bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah yang menulis berjilid-jilid buku fatwa (berkenaan dengan syariat) mati-matian membela orang semacam Yazid? Bukankah Ibnu Taimiyah sendiri menukil sabda Rasul yang berbunyi “Barangsiapa yang menakut-nakuti penduduk Madinah, Allah akan menakut-nakutinya, dan semoga laknat Allah, malaikat serta segenap manusia akan tertuju kepadanya”. Dan sebagaimana firman Allah swt: “Dan sesungguhnya orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. Apakah menarik baiat dari orang yang dianggap fasik dan terlaknat karena membunuh cucu rasul dan menghinakan keluarganya merupakan suatu kesalahan?

Ibnu Taimiyah tidak bisa lagi menutupi kemursalan Yazid. Yang bisa dilakukan oleh manusia semacam Ibnu Taimiyah adalah, berusaha memperingan kesalahan Yazid dengan mengurangi jumlah korban. Oleh karena itu, di dalam kitab yang sama, dalam rangka membela dan menutup-nutupi prilaku bejat Yazid, ia mengatakan “Yazid tidak membunuh semua pemuka Madinah, pembunuhan itu tidak sampai berjumlah sepuluh ribu jiwa, darah-darah itu tidak sampai ke makam Rasul dan pembunuhan itu tidak sampai terjadi di masjid Nabi”. Pantaskah Ibnu Taimiyah mengaku penghidup ajaran Salaf as-Sholeh, sedang disisi lain ia adalah pembela nomor satu pembunuh para Salaf as-Sholeh?

Kedurjanaan Yazid bukan hanya ditujukan kepada keluarga suci Rasul, para sahabat dan Tabi’in, namun ia juga telah berbuat kurang ajar terhadap Baitullah al-A’dzam, Ka’bah al-Musyarrafah. Rumah suci yang memiliki sakralitas lebih dibanding tempat-tempat peribadatan lainnya, sebagaimana yang telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. As-Suyuthi dalam kitab Tarikh al-Khulafa’, yang menukil dari ungkapan adz-Dzahabi, ia mengatakan:

“Setelah peristiwa besar yang menghebohkan terjadi di Madinah, Yazid mengirim pasukannya untuk berperang melawan Ibnu Zubair. Setelah mereka memasuki Makkah, akhirnya mereka mengepung Ibnu Zubair. Terjadilah peperangan melawan Ibnu Zubair, tetapi mereka melempari Ka’bah dengan manjanik (ketapel ukuran besar), dan karena jalaran api yang mereka sulut menyebabkan kisa’ (kelambu penutup Ka’bah) beserta langit-langit Ka’bah turut terbakar”.

Dalam tragedi inipun, Ibnu Taimiyah tetap berusaha memberi taujih (pembenaran) atas prilaku Yazid. Ia mengatakan:

“Tidak seorang muslim pun yang mau bermaksud menghinakan Ka’bah, bukan wakil Yazid, juga bukan wakil Abdul Malik yang bernama Hajjaj bin Yusuf, ataupun selain mereka berdua, bahkan segenap kaum muslimin bermaksud untuk mengagungkan Ka’bah. Jadi, kalaulah Masjid al-Haram dikepung, hal itu karena pengepungan terhadap Ibnu Zubair. Pelemparan menggunakan manjanik-pun tertuju kepadanya. Yazid tidak ada maksud untuk membakar dan merusak Ka’bah, Ibnu Zubair yang telah melakukan semua itu”.

Disini, lagi-lagi Ibnu Taimiyah mengkambinghitamkan orang lain dalam rangka mensucikan Yazid dari perbuatan kufurnya. Padahal, para ahli sejarah dengan jelas mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan Yazid yang didasari unsur kesengajaan.
Tiga kesalahan besar Yazid selama masa ia berkuasa; membunuh keluarga Rasul, memerintahkan pasukannya berbuat seperti binatang di Madinah dan perusakan Ka’bah. Semua itu dicatat oleh para ahli sejarah baik Sunni dan Syiah dan telah terekam dalam benak banyak ulama muslim yang tidak mungkin dihapuskan dalam sejarah Islam.

Anggaplah, apa yang dibikin-bikin untuk menutupi kesalahan Yazid oleh Ibnu Taimiyah itu benar, tetapi pembunuhan tetaplah pembunuhan, apalagi yang dibunuh adalah cucu Nabi –dimana banyak riwayat tentang keutamaan Husein bin Ali as- di padang gersang Karbala. Juga, pembantaian beberapa sahabat dan manusia-manusia yang tak berdosa lainnya. Ditambah lagi dengan merampas harta benda, memperkosa wanita-wanita mukminah Madinah. Lantas apakah Islam mengajarkan atau membolehkan hal semacam itu? Bukankah Islam mengajarkan untuk tidak membolehkan dalam memperlakukan orang kafir semacam itu, apalagi para pengikrar syahadatain. Apakah orang kufur semacam Yazid dan bala tentaranya masih akan tetap memiliki rasa hormat atas Ka’bah, sehingga masih terus dibela oleh Ibnu Taimiyah dengan mengkambinghitamkan Ibnu Zubair? Jika semua dosa besar yang telah disebutkan tadi dengan berani mereka lakukan, maka dosa besar semacam perusakan Ka’bah al-Muadzamah pun sangatlah besar kemungkinannya untuk mereka lakukan. Apalagi, alasan Ibnu Taimiyah tersebut tidak berlandaskan argumentasi yang kuat, dan bertentangan dengan pendapat banyak ulama muslim ahli sejarah dan akal sehat.

Dalam kitab Minhaj as-Sunnah dengan sangat jelas Ibnu Taimiyah membela Yazid, ia mengatakan “Dari mana manusia mengetahui bahwa Yazid atau pelaku zalim lainnya belum bertaubat? Atau tidak memiliki kebaikan sedikitpun yang bisa menghapus dosa-dosanya?” Ini merupakan jurus terakhir Ibnu Taimiyah dalam rangka pembelaannya terhadap Yazid. Taruhlah, Yazid pernah bertaubat, akan tetapi harus diketahui bahwa konsep taubat dalam Islam, jika suatu kesalahan hanya berkaitan dengan dirinya maka cukup ia meminta taubat dari Allah. Namun, jika kesalahannya berhubungan dengan berbuat zalim terhadap orang lain, maka ia harus meminta keridhaan orang yang bersangkutan. Tanpa ridha pribadi yang disakiti, kesalahannya belum diampuni oleh Allah. Jadi, bagaimana taubat Yazid kepada orang-orang yang telah dibantainya, wanita-wanita mukminah yang telah ia hinakan, dan dosa-dosa sosial lainnya? Juga terbukti tidak satu penulis sejarahpun yang menerangkan perubahan pada perangai Yazid di akhir hayatnya.

Rasul sendiri jauh-jauh hari -berkat kabar dari Jibril- telah mengetahui tentang peristiwa yang bakal menimpa cucunya di Karbala. Belum lagi yang berkaitan dengan mimpi ummul mukminin Ummu Salamah ra. Juga mimpi sahabat besar Rasul, Ibnu Abbas ra. Jadi, kezaliman Yazid sampai akhir hayatnya sudah “diprediksikan” oleh Allah, sebagaimana prilaku Abu Lahab yang disitir oleh Allah dalam Surat al-Lahab yang ditujukan kepadanya. Padahal, bukankah sewaktu surat tersebut diturunkan, Abu Lahab masih hidup dan masih bisa berbuat taubat? Kalaupun Abu Lahab bertaubat, maka taubatnya tidak akan diterima sebagaimana ungkapan Fir’aun sewaktu akan tenggelam “Amantu bi rabbi Musa wa Harun” (aku beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun). Hal itu lebih dikarenakan, sebegitu besar kezaliman yang telah ia lakukan sehingga seakan pintu taubat telah ditutup bagi Allah. Begitu pula dengan Yazid, sebegitu dahsyat kezaliman yang telah ia lakukan maka pintu taubat telah ditutup oleh Allah, dan Allah menjatuhi vonis hatm (kepastian hukuman) atasnya, sebagaimana Abu Lahab.

Bagaimana kita menghukumi otak pekerjaan fasik beserta para pelaku dan “pembelanya” tersebut? Disini, kita dapat pertanyakan ke-ahlusunnah-an Ibnu Taimiyah, karena pembelaannya atas para Salaf at-Tholeh (lawan Salaf as-Sholeh) tadi, padahal mayoritas mutlak Ahlusunnah mencela mereka. Bukankah konsekuensi seorang pengikut Ahlusunnah harus mencela orang yang telah merubah-rubah Sunah Rasul? Bukankah Rasul pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abi Darda’: “Pertama orang yang merubah Sunah-ku adalah seseorang dari Bani Umayyah yang bernama Yazid” Yang pantas dipertanyakan kemudian, apakah layak bagi Ibnu Taimiyah, sang pembela manusia perubah Sunah Rasul, mengaku sebagai Ahlusunnah?

Kekejaman Yazid anak Muawiyah ini tidak mungkin akan bisa ditutup-tutupi dengan hadis-hadis bikinan berkenaan dengan keutamaan anak-bapak tersebut, karena sejarah telah mencatatnya. Ibnu Taimiyah tidak mungkin dapat menutup-nutupi fakta sejarah. Ia tidak mungkin dapat menyalahkan Husein bin Ali bin Abi Thalib as. Tetapi, ternyata ia terus berusaha untuk menutupi kesalahan Yazid maupun bapaknya, Muawiyah. Demikian halnya yang dilakukan oleh para pengikut Ibnu Taimiyah di masa sekarang dengan cara diantaranya mencari kambing hitam sebagaimana yang diungkap oleh Thaha Husein.

Logika ini sama persis seperti yang dilakukan Amr bin Ash pendamping setia Muawiyah terhadap Imam Ali bin Abi Thalib as tentang peristiwa kesyahidan Ammar bin Yasir ra, sahabat Rasul dan pengikut setia Ali. Dikarenakan Rasulullah saww pernah bersabda –dalam hadis mutawatir- kepada Ammar; “sataqtuluka fiah baghiah” (engkau akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka). Pada waktu perang Shiffin, perang antara kubu Amirulmukminin Ali as dan Muawiyah di daerah yang terkenal dengan sebutan Shiffin, di situ Ammar terbunuh. Kala itu, Ammar di pihak Amirulmukminin Ali as. Dengan terbunuhnya Ammar di pihak Ali, beberapa kaum pembela Muawiyah ingat sabda Rasul tadi, mereka pun bimbang. Untuk menghindari kebimbangan itu yang tentu akan mengurangi semangat bala tentaranya, Amr bin Ash penasehat setia Muawiyah mengatakan bahwa pembunuh Ammar adalah Ali. Dengan alasan, “jikalau Ali tidak memerangi Muawiyah niscaya Ammar tidak akan terbunuh”. Karena ajakan Ali, Ammar terbunuh, berarti Ali lah pembunuh Ammar. Logika yang lucu tapi nyata. Hanya manusia bodoh yang menerima logika semacam itu. Karena jika kita dipaksa menerima logika tersebut berarti kita harus menerima juga ungkapan bahwa pembunuh para sahabat Rasul adalah Rasul sendiri, karena Rasullah yang mengajak mereka berperang.

Begitu juga dalam masalah pembunuhan Husein bin Ali as. Para pengikut Ibnu Taimiyah berusaha meyakinkan bahwa pembunuh Husein bin Ali adalah pengikut Syiah sendiri. Karena pada saat itu Syiah Ali banyak ditemui di Kufah dan merekalah yang memanggil Husein untuk datang ke Kufah dengan melayangkan ribuan surat kepada Husein as. Husein dikhianati oleh kaum Syiah, merekalah pembunuh Husein yang sebenarnya. Oleh karenanya, mereka meratapi kejadian Karbala karena penyesalan akan pengkhiatan kaumnya. Jadi kambing hitam atas tragedi Karbala adalah orang-orang Syiah.

Memang, saat itu kaum Syiah banyak ditemui di Kufah, namun tidak semua orang Kufah bermazhab Syiah. Tidak semua yang melayangkan surat ke Husein bin Ali adalah yang bermazhab Syiah. Mereka yang melayangkan surat juga termasuk orang yang mengakui kekhalifahan Syeikhain. Mereka turut melayangkan surat dikarenakan kecintaan mereka kepada keluarga Rasul dan kebencian mereka akan kezaliman. Bukankah yang mengajarkan kecintaan kepada keluarga Rasul bukan hanya khusus mazhab Syiah saja? Bukankah yang mengajarkan kebencian terhadap berbagai kezaliman bukan hanya dikhususkan mazhab Syiah saja? Atas dasar itulah, lantas ribuan surat melayang ke pangkuan Husein bin Ali as.

Mereka-mereka pencari kambing hitam peristiwa Karbala tidak tahu (jahil) –atau sengaja tidak mau tahu (keras kepala)- bahwa sebelum peristiwa Karbala, ribuan penduduk Kufah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan bekerjasama dengan Nukman bin Basyir gubernur Kufah, bawahan Yazid. Pembunuhan itu atas perintah langsung dari Syam, pusat pemerintahan rezim Yazid. Perintah itu keluar setelah Yazid mendengar melalui mata-matanya bahwa penduduk Kufah banyak melayangkan surat kepada Husein. Selain pembunuhan juga dilakukan penangkapan besar-besaran penduduk Kufah, pendukung imam Husein. Dan intimidasi untuk menarik kembali baiat yang mereka layangkan kepada Husein di bawah ancaman mati di ujung pedang. Lantas, masihkah pengikut Ibnu Taimiyah terus akan mencari-cari kambing hitam itu? Ataukah mereka terus berusaha untuk selalu mencari jalan lain dalam rangka membela kaum durjana?

Asyura dan Anak Yatim

Akhir-akhir ini, di Indonesia digalakkan untuk menjadikan hari sepuluh Muharam (Asyura) sebagai peringatan Hari Raya Anak Yatim. Hari kesedihan mengingat pembantaian putera Rasulullah Husein bin Ali as di padang gersang karbala diubah menjadi suasana gembira di hari raya. Hari duka dialihkan menjadi hari gembira dan pesta. Bukankah ini merupakan warisan budaya dinasti Bani Umayyah? Itulah cara lain untuk mengalihkan memori masyarakat muslim akan peristiwa kezaliman Yazid atas cucu Rasulullah. Berapa banyak kaum muslimin lalai dan terperdaya atas tipu daya tersebut. Apalagi pembawa budaya tersebut menghubung-hubungkannya dengan hadis-hadis diselamatkannya para Nabi pada hari Asyura. Bagaimana mungkin mereka bergembira di hari Asyura dengan alasan penyelamatan para Nabi dari berbagai ujian Ilahi, sementara pada saat yang sama Muhammad saww -penghulu para nabi dan rasul- menangis ketika mendengar dari Jibril as tentang peristiwa Asyura bakal menimpa cucu kesayangannya, Husein bin Ali as.

Sungguh celaka yang mengadakan pesta itu dengan dasar pengetahuan akan peristiwa Karbala, karena mereka bergembira di atas derita Rasul. Bisa dipastikan hati Rasul akan sakit dan tersiksa dengan situasi semacam ini. Jika hal itu terjadi, maka mereka tergolong dalam ayat “Sesungguhnya orang-orangyang menyakiti Allah dan rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akherat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan”.

Lalu, mana bukti bahwa mereka adalah pecinta dan pengikut Rasul beserta keluarganya? Adakah orang yang bergembira diatas kesedihan dan kepiluhan hati Rasul bisa dikategorikan pengikut setia Rasul? Apakah layak orang-orang seperti Ibnu Taimiyah mengaku mengikuti Salaf Sholeh? Apakah Muawiyah, Yazid dan manusia-manusia sepertinya termasuk Salaf Sholeh yang Ibnu Taimiyah maksudkan? Jelas, bahwa mereka-mereka penzalim itu adalah Salaf at-Tholeh (lawan salaf as-sholeh), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para sejarawan Ahlusunnah sendiri. Mereka juga termasuk yang menjadi sasaran Sabda Rasul “Allah mengharamkan surga bagi siapa yang telah menzalimi, membunuh atau mencela Ahlu Bait ku (keluarga) ataupun yang memiliki saham (dalam masalah tersebut)”.

Jadi, adakah seorang seperti Muawiyah dan anaknya Yazid sang pemabuk layak menduduki kedudukan khalifah Rasul? Padahal kekhalifahan Rasul merupakan posisi penting yang harus tetap dijaga kesakralannya. Apakah dengan menutup-nutupi kekurangan kaum zalim dan membikin-bikin keutamaan mereka, apalagi dengan mengarang buku tentang keutamaan mereka “Fadho’il Muawiyah dan Yazid”, bukan masuk kategori penolong kaum zalim? Bukankah penolong kaum zalim berarti sama hukumnya dengan kaum zalim tersebut yang harus dilepas-tangani? Masih layakkah seseorang yang dihukumi zalim diberi gelar dan disebut Syeikh al-Islam? Apakah seseorang yang dihukumi zalim dikarenakan pembelaannya terhadap kaum zalim masih layak diikuti segala ucapannya, apalagi yang berkaitan dengan syariat Islam yang terkumpul dalam buku kumpulan fatwa (Majmu’ah al-fatawa) yang berjilid-jilid itu? Apakah seorang yang dianggap gugur ke-adilan-nya akibat membela manusia zalim masih layak berbicara tentang Islam? Apakah layak bagi manusia semacam itu menuduh selainnya sebagai ahli bid’ah dan syirik? Bukankah Islam melarang mengikuti orang zalim sebelum ia bertaubat? Dan bukankah tidak ada bukti bahwa orang yang sering disebut “Syeikh al-Islam” itu telah bertobat dalam pembelaannya terhadap manusia fasik seperti Yazid, yang menurut Jahidh –sebagaimana yang disebutkan di atas- layak untuk dilaknat itu. Jika seorang yang matanya belekan diangkat menjadi penghias mata orang lain atau orang buta diangkat sebagai penunjuk jalan, maka jangan salahkan jika Islam akan menjadi bulan-bulanan bahan ejekan dan cemoohan musuh-musuhnya.

Wallahu a’lam

9 Tanggapan

  1. Wah, baru kali ini saya membaca sejarah seperti ini. Sedih sekali hati ini, semoga Allah SWT membuka mata hati dan pikiran kita semua. Dan mampu bertindak sesuai kaidah yang ditetapkan Allah dan RasulNya.

  2. akan saya croscek postingan anda wallahu a’lam bishawab

  3. salam… kite kena berhati2 krn skrg byk para orientalis menyerang Islam dr sudut sejarah.. mereka memutar belitkan sejarah utk menunjukkan bhw islam ini penuh dgn keganasan, criminal, korupsi dll…

  4. Dosa Menyelewengkan Hakikat Sejarah Dan Fakta
    Dosa Menyelewengkan Hakikat Sejarah Dan Fakta 28 October, 2007 (07:52) | Artikel Dalam sejarah manusia, ramai yang teraniaya hanya disebabkan oleh berita palsu yang direka terhadap seseorang. Penderitaan atau kezaliman cerita bohong atau penyelewengan fakta terhadap seseorang, bukan sahaja dirasai kesannya oleh individu berkenaan, sebaliknya juga orang ramai. Lihat sahaja apabila diselewengkan hakikat Nabi Isa daripada seorang insan yang diutuskan menjadi rasul diselewengkan kepada anak Tuhan. Hasilnya, satu umat merubah menjadi syirik dan tersasar dari agama yang sebenar. Adapun Nabi Isa, tetap mulia di sisi Allah namun yang menjadi mangsa ialah golongan jahil yang menelan penyelewengan fakta. Demikian Sayidina Ali, hakikat dirinya telah diselewengkan, sehingga lahirnya aliran Syiah telah memuja-mujanya melebihi yang sepatutnya melebihi kedudukan seorang nabi lalu tersasarlah satu mazhab di kalangan umat ini. Sebab itu dosa para penyeleweng fakta dan hakikat sejarah bukan sedikit. Firman Allah: (maksudnya) Kecelakaan besar bagi orang-orang yang menulis Kitab (Taurat) dengan tangan mereka (mengubah perkataan Allah dengan rekaan-rekaan mereka), kemudian mereka berkata: “Ini datang dari sisi Allah,” supaya mereka dapat membelinya dengan harga yang murah (keuntungan dunia yang sedikit). Maka kecelakaan besar bagi mereka disebabkan apa yang ditulis oleh tangan mereka, dan kecelakaan besar bagi mereka dari apa yang mereka usahakan itu. ( al-Baqarah: 79). Dosa penyelewengan akan terus ditanggung selama mana pembohongan beredar di kalangan manusia. Justeru itu, kita sentiasa disuruh berhati-hati. Firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 6: Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum (dengan perkara yang tidak diingini) dengan sebab kejahilan kamu, sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan. Bukan sedikit dalam sejarah manusia yang menjadi mangsa hasil penyelewengan fakta. Bermula daripada para nabi, para sahabah Nabi s.a.w., tokoh-tokoh ilmu, para pemerintah sehingga kepada insan biasa. Semua kerana berita golongan yang hasad, menyimpan dendam kebencian, atau orang yang hobinya membuat cerita. Atas apa pun alasan, mereka yang menyelewengkan fakta memakai pingat kurniaan bergelar ‘fasik’ atau ‘orang jahat’ atau ‘ahli dosa’. Umpamanya, entah berapa banyak kisah dusta yang direka oleh golongan Syiah untuk memburuk Muawiyah bin Abi Sufyan, sahabah Nabi s.a.w. hanya kerana dendam politik. Seorang tokoh sejarah, Munir al-Ghadban menyebut: “Aku tidak berpendapat bahawa adanya suatu peribadi – di dalam sejarah Islam yang terdiri daripada kalangan para sahabah yang awal, yang ditarbiah dengan tangan Rasulullah dan mereka yang hidup dengan wahyu langit, lalu diperburukkan, dibohongi mengenainya dan didustakan kepadanya seperti yang terkena pada Muawiyah bin Abi Sufyan. Sesungguhnya kebanyakan maklumat yang terlekat di pemikiran orang ramai telah diterima sebagai sesuatu yang tidak diragui lagi dan tidak boleh untuk dipertikaikan. Maklumat itu tidak bersesuaian sama sekali dengan darjat yang sepatutnya bagi seorang sahabah Nabi. Gambaran Muawiyah pada pemikiran orang ramai ialah seorang yang menuntut kuasa, ahli politik yang cekap, seorang yang mencari kesempatan, dia tidak pernah menghiraukan apa pun dalam usahanya untuk sampai kepada kekuasaan dan seorang yang bertarung kerana inginkan kuasa serta bertindak membunuh berpuluh-puluh ribu orang lain semata-mata untuk menjadi khalifah. Inilah gambarannya yang bertentangan dengan perasaan dan fitrah setiap muslim, namun tiada ganti baginya kerana buku-buku sejarah menyebut demikian. (Munir al-Ghadban, Muawiyah bin Abi Sufyan, m.s. 5 Syria, Dar al-Qalam). Demikian riwayat-riwayat bohong yang menggambarkan Khalifah Harun al-Rasyid suka berfoya-foya. Bahkan masyhur di kalangan sesetengah masyarakat bahawa dia sering ditipu oleh ‘kaki belit’, Abu Nawas. Ramai yang membaca kisah bohong itu dan tersengih melihat bagaimana dia berjaya mempersendakan Khalifah Harun al-Rasyid. Sedangkan kata Ibn Khaldun (meninggal 808H): “Adapun apa yang dipalsukan oleh hikayat mengenai Harun al-Rasyid yang selalu meminum arak dan mabuk seperti mabuknya kaki arak, Allah memelihara daripada itu semua! Kita tidak pernah tahu dia seorang yang berbuat jahat. Mana mungkin ini semua dengan keadaannya yang melaksanakan tanggungjawab agama dan keadilan bagi kedudukannya sebagai khalifah. Seorang yang mendampingi ulama dan aulia. Selalu berbincang dengan al-Fudail bin ‘Iyad, Ibn al-Sammak dan al-‘Umari. Selalu berutusan surat dengan Sufyan al-Thauri, menangis mendengar nasihat mereka, berdoa di Mekah ketika tawaf, kuat beribadah, menjaga waktu solat dan hadir solat subuh pada awal waktu.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, m.s. 17, Beirut: Dar al-Fikr). Kadangkala kebencian dan dendam membawa sesetengah pihak menghalalkan diri mereka mencipta kisah dusta memfitnah orang lain. Kemudian orang ramai pula menelankan tanpa menyedari bahawa jika itu satu fitnah pembohongan, mereka akan dihukum oleh Allah pada hari kiamat kelak kerana menyebarkan fitnah terhadap muslim yang lain. Apatah lagi jika muslim itu sahabah Nabi s.a.w. atau orang soleh atau tokoh ilmuwan Islam. Sekalipun jika individu itu bukan terkenal sebagai orang soleh dan baragama, kita tidak boleh menzaliminya dengan membuat cerita bohong terhadapnya. Lihatlah apa yang dilakukan oleh penyelewengan sejarah terhadap Yazid bin Muawiyah dengan menuduh dia membunuh cucu Nabi s.a.w. Sayidina Husain bin Ali. Sehingga dia dilaknat dan ditohmah dengan berbagai-bagai tohmahan. Padahal tiada bukti pun yang menunjukkan demikian. Kata Ibn Taimiyyah (meninggal 728H): “Yazid bin Muawiyah lahir pada zaman khalifah ‘Uthman bin ‘Affan. Beliau tidak bertemu dengan Nabi s.a.w. dan tidak termasuk dalam kalangan sahabah dengan sepakat ulama. Dia juga tidak termasuk di kalangan yang terkenal dengan agama dan kesolehan. Dia adalah salah seorang pemuda muslimin. Dia tidak kafir atau zindik. Memegang jawatan selepas ayahnya dengan kebencian sebahagian kaum muslimin dan reda sebahagian yang lain. Dia adalah seorang yang berani dan bermurah hati. Dia bukan seorang yang menzahirkan perkara-perkara keji (maksiat) seperti yang dituduh oleh musuh-musuhnya.” (Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, 2/253, Riyad: Maktab al-‘Abikan). Adapun peristiwa pembunuhan cucu Nabi s.a.w. Husain bin Ali tidak ada bukti dia menyuruhnya atau terlibat dengannya. Bahkan ahli sejarah yang adil meriwayatkan beliau menangis atas kematian Husain dan melaknat pembunuhnya. Penduduk Syam turut menangis. Bahkan hubungan baik Yazid dan anak Sayidina Husain iaitu Ali bin Husain berterusan selepas itu. Mereka sering mengutus surat. Bahkan Ali bin Husain menganggap yang membunuh ayahnya adalah Syiah di Kufah yang menjemput ayahnya dan menipunya. Cuma Yazid dipertikaikan kerana tidak membunuh balas terhadap pembunuh Husain. Kata Ibn al-Salah (meninggal 643H): “Tidak sahih di sisi kami bahawa Yazid memerintahkan agar dibunuh Husain. Riwayat yang dipercayai menyatakan perintah membunuh al-Husain datang dari orang yang mengepalai pembunuhannya iaitu ‘Ubaid Allah bin Ziyad, gabenor Iraq ketika itu.” (Ibn Tulun, Qaid al-Syarid min Akhbar Yazid, Kaherah: Dar al-Sahwah). Maka, kita dapat menerima sesetengah pihak yang memudah-mudahkan menerima kisah buruk hanya kerana yang dikaitkan itu artis atau orang politik atau orang yang tidak dipandang tinggi dalam agama. Dosa tetap dosa. Para wartawan hendaklah sedar. Jangan dalam keghairahan mengejar berita sensasi, mereka melanggar hak-hak insan yang dipelihara agama. Para ulama juga bukan sedikit yang menjadi mangsa penyelewengan fakta. Cumanya fitnah terhadap tokoh-tokoh ilmuwan agama ini kebanyakannya lahir dari sentimen ketaksuban sesama golongan agama itu sendiri. Hal ini mengenai pelbagai tokoh termasuk al-Imam al-Syafii, al-Bukhari, Ibn Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan ramai yang lain. Contohnya, di sana ada kitab yang dusta mengenai al-Rihlah ila al-Rasyid (Kembara Menuju Harun al-Rasyid) yang disandarkan secara palsu kepada al-Imam al-Syafii. Dalam kitab tersebut banyak riwayat yang bohong dan karut. Antara ianya mencerita bahawa Al-Imam al-Syafii bertemu dengan al-Qadi Abu Yusuf (w 182H), tokoh utama mazhab Abi Hanifah di Baghdad, sedangkan al-Qadi Abu Yusuf meninggal sebelum al- Imam al-Syafii masuk ke Baghdad. Lebih buruk lagi ia menceritakan tokoh terkenal ulama Islam al-Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani (w 189H) dan juga al-Qadi Abu Yusuf merancang agar al-Imam al-Syafii dibunuh dengan membuat dakwaan terhadapnya di hadapan khalifah. Ini adalah fitnah besar terhadap kedua imam agung tersebut. Kedudukan kedua-dua imam itu memustahilkan mereka melakukan perkara yang seperti itu. Kisah ini semata-mata untuk memperlihatkan ketaksuban kepada imam al-Syafii. Semuanya datang daripada ‘Abd Allah bin Muhammad al-Balawi, seorang pendusta. Malangnya beberapa tokoh memetik apa yang diriwayatkannya tanpa menjelaskan pembohongan isi kandungannya. Sedangkan menurut kajian al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) al-Imam al-Syafii datang ke Baghdad pada tahun 184H. Beliau berdialog dengan al-Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani di hadapan khalifah Harun al-Rasyid. Muhammad bin al-Hasan memuji al-Imam al-Syafii disebabkan kebijaksanaannya. Sehingga beliau memuliakan al-Imam al-Syafii dan mengambilnya sebagai tetamu. Adapun Al-Qadi Abu Yusuf telah meninggal setahun, atau dua tahun sebelum itu. (Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, 10/263, cetakan Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Beirut). Demikian fitnah yang dikenakan kepada Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah. Hanya kerana hasad dan taksub. Di Malaysia ini pun ada ‘tukang penyebar fitnah terhadap Ibn Taimiyyah’. Tujuannya agar cubaan membawa Islam dengan lebih terbuka dan ilmiah dapat dihalang. Maka seperti biasa Ibn Taimiyyah dituduh sebagai wahhabi, padahal dia meninggal pada tahun 728H dan al-Imam Muhammad Abdul Wahhab lahir pada 1115H, iaitu hampir empat ratus sebelum kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Ilmu Ibn Taimiyyah juga jauh mengatasi keilmuwan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibn Taimiyyah telah membayar harga yang mahal untuk perjuangan pembaharuan yang dilakukan pada zamannya. Setiap kali gerakan perbaharuan berlaku, sejarah akan mengenangnya. Musuh-musuh pembaharuan pula akan membangkitkan semula fitnah terhadapnya. Pada zamannya musuh-musuh beliau dari kalangan ahli-ahli khurafat, syiah dan tarikat yang melampau telah menabur fitnah yang begitu dahsyat terhadap beliau. Dengan harapan, jatuhnya Ibn Taimiyyah, dapatlah mereka bermaharajalela. Tokoh dakwah terkenal Maulana Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadwi, dalam bukunya “Al-Hafiz Ahmad bin Taimiyyah” menceritakan bagaimana golongan yang sesat berusaha agar Ibn Taimiyyah dipenjarakan. Apabila dipenjarakan, mereka kembali berani menyebarkan kesesatan. Maka, para ulama pada zaman tersebut mulai sedar betapa besar dan pentingnya peranan Ibn Taimiyyah. Mereka mula menulis surat, merayu dan membelanya di hadapan pemerintah, sehingga al-Nadwi menyebut: “Ahli bidaah dan hawa nafsu yang cuba untuk menonjolkan diri sebagai bermazhab Ahli sunah, untuk menipu para pemerintah dan hakim (agar menangkap Ibn Taimiyyiah). Sebaik sahaja berjaya penipuan mereka, maka orang ramai pun nampaklah kejahatan mereka, dan golongan tersebut mulalah menonjol dan tidak bersembunyi lagi.” (Abu Hasan ‘Ali al-Nadwi, Al-Hafiz Ahmad bin Taimiyyah, Kuwait: Dar al-Qalam) Jika kita perhatikan tokoh-tokoh umat pada zaman lalu dan kini, mereka banyak mengambil manfaat daripada khazanah Ibn Taimiyyah. Lihat alNadwi yang saya sebutkan di atas. Demikian juga al-Syeikh Yusuf al-Qaradawi pernah menyebut “Al-Imam Ibn Taimiyyah ialah daripada kalangan ulama umat yang aku sayangi, bahkan barangkali dialah yang paling hatiku sayangi di kalangan mereka dan paling dekat kepada pemikiranku.” (Al-Qaradawi, Kaif Nata‘amul ma‘a al-Sunnah, Mesir: Dar al-Wafa). Justeru, kita hendaklah berhati-hati dengan fitnah dan khabar buruk yang disebarkan. Orang yang difitnah tidak rugi di sisi Allah selagi dia ikhlas dan lurus dengan Allah. Namun yang memfitnah dan menyebarkan fitnah, akan menanggung bebanan dosa itu. Janganlah kita jadi seperti masyarakat lalat hijau yang gemarkan bahan busuk, dan akan mati jika disiram air wangi. Dengari firman Allah (maksudnya): Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita dusta itu segolongan dari kalangan kamu; janganlah kamu menyangka (berita yang dusta) itu buruk bagi kamu, bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang di antara mereka akan mendapat hukuman sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya itu, dan orang yang mengambil bahagian besar dalam menyiarkannya antara mereka, akan beroleh seksa yang besar (di dunia dan di akhirat). Sepatutnya semasa kamu mendengar tuduhan itu, orang-orang yang beriman – lelaki dan perempuan, menaruh baik sangka kepada diri mereka sendiri (sesama mukmin) dan berkata: “Ini ialah tuduhan dusta yang nyata.” (surah al-Nur 11-12).

  5. Sesungguhnya kebanyakan maklumat yang terlekat di pemikiran orang ramai telah diterima sebagai sesuatu yang tidak diragui lagi dan tidak boleh untuk dipertikaikan. Maklumat itu tidak bersesuaian sama sekali dengan darjat yang sepatutnya bagi seorang sahabah Nabi. Gambaran Muawiyah pada pemikiran orang ramai ialah seorang yang menuntut kuasa, ahli politik yang cekap, seorang yang mencari kesempatan, dia tidak pernah menghiraukan apa pun dalam usahanya untuk sampai kepada kekuasaan dan seorang yang bertarung kerana inginkan kuasa serta bertindak membunuh berpuluh-puluh ribu orang lain semata-mata untuk menjadi khalifah. Inilah gambarannya yang bertentangan dengan perasaan dan fitrah setiap muslim, namun tiada ganti baginya kerana buku-buku sejarah menyebut demikian. (Munir al-Ghadban, Muawiyah bin Abi Sufyan, m.s. 5 Syria, Dar al-Qalam). Demikian riwayat-riwayat bohong yang menggambarkan Khalifah Harun al-Rasyid suka berfoya-foya. Bahkan masyhur di kalangan sesetengah masyarakat bahawa dia sering ditipu oleh ‘kaki belit’, Abu Nawas. Ramai yang membaca kisah bohong itu dan tersengih melihat bagaimana dia berjaya mempersendakan Khalifah Harun al-Rasyid. Sedangkan kata Ibn Khaldun (meninggal 808H): “Adapun apa yang dipalsukan oleh hikayat mengenai Harun al-Rasyid yang selalu meminum arak dan mabuk seperti mabuknya kaki arak, Allah memelihara daripada itu semua! Kita tidak pernah tahu dia seorang yang berbuat jahat. Mana mungkin ini semua dengan keadaannya yang melaksanakan tanggungjawab agama dan keadilan bagi kedudukannya sebagai khalifah. Seorang yang mendampingi ulama dan aulia. Selalu berbincang dengan al-Fudail bin ‘Iyad, Ibn al-Sammak dan al-‘Umari. Selalu berutusan surat dengan Sufyan al-Thauri, menangis mendengar nasihat mereka, berdoa di Mekah ketika tawaf, kuat beribadah, menjaga waktu solat dan hadir solat subuh pada awal waktu.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, m.s. 17, Beirut: Dar al-Fikr).

  6. @uzma

    Mas sepertinya anda belum membaca banyak tentang sejarah Islam.

    sejarah Islam disamping ada yang patut kita banggakan, juga tidak sedikit sisi yang tak patut dibanggakan (baca: sejarah islam yang berdarah-darah).

    anda tidak usah mengkambing hitamkan orientalis, karena sejarawan islam juga banyak yang mengungkap kejahatan pelaku sejarah di dalam islam.

    anda tampak sekali cuman mengikuti apa yang di dektekan ustad-ustad anda…. cobalah anda merujuk buku-buku sejarah islam klasik yang ditulis sejarawan islam ratusan tahun yang lalu..

    tentang siapa sejatinya Ibnu Taimiah anda saya persilahkan merujuk ke blog yang khusus membahas akidah dan pemikiran ibnu taimiah yaitu:

    http://ibnutaymiah.wordpress.com/

  7. 1000 % saya setuju dengan tulisan di atas…

  8. please, don’t write an SARA (sensitif word) into your article. its just increase broken heart to another people or group.

    SARA such ‘wahabi lebih bo*oh lagi’

  9. Sudahlah jangan ikut2an kepala batu seperti arab….yang sudah meninggal kita kenang baiknya dan kita tutupi keburukannya…tentang kesalahannya mereka akan bertanggungjawab sendiri-sendiri dihadapan Gusti Allah SWT,…

Tinggalkan komentar